Sejarah GKI Sinode Wilayah Jawa Barat
Bermula dari pembaptisan orang-orang Kristen Tionghoa pertama di Indramayu, yakni: Ang Boen Swie dan keluarganya serta beberapa keluarga lainnya pada 13 Desember 1858 oleh Pdt. J.A.W Krol dari Gereja Protestan (Belanda) di Cirebon yang kemudian menjadi Jemaat pertama di lingkup GKI Sinode Wilayah Jawa Barat yakni GKI Indramayu yang beralamat di Jalan Cimanuk no. 23 Indramayu.
Pada tempat yang berbeda, Badan pekabaran Injil yang dengan sengaja sejak awal merencanakan pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa di Jawa Barat, khususnya di Batavia, adalah Het Genootschap voor In en Uitwendige Zending (GIUZ) atau Persekutuan Pekabaran Injil di dalam dan di luar gereja. Kemunculan GIUZ ini turut dipengaruhi oleh pemikiran Mr. F.L. Anthing (1820-1883), seorang hakim Belanda yang pernah menjabat sebagai Ketua Muda Pengadilan Tinggi di Semarang. GIUZ juga turut berpegang pada pandangan Anthing bahwa “pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa harus dilakukan oleh tenaga Tionghoa sendiri”.
Karena itulah, GIUZ berusaha mendatangkan seorang pekabar Injil Tionghoa dari Tiongkok. Pada tahun 1856, GIUZ berhasil mendatangkan penginjil dari Amoy, Xiamen, Tiongkok yang datang ke Batavia untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Tionghoa. Namanya adalah Gan Kwee. Awal mulanya, Gan Kwee mendirikan pos PI di Jl. Pagerman, dekat Jl. Kopi sekarang.
Selain di Batavia, Gan Kwee juga mengabarkan Injil ke kota-kota lain di Jawa: Cirebon, Tegal, Semarang, Ambarawa, Salatiga, Surakarta, Magelang, Pasuruan dan Probolinggo. Ia berpandangan bahwa tugas pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa merupakan suatu kesatuan.
Pada tahun 1868, ada 17 orang “murid” Gan Kwee di Batavia yang menerima baptisan yang dilayankan oleh pendeta de Gaay-Fortman. Ke-17 orang ini – bersama keluarga Gouw Ko di kemudian hari, menjadi inti dari jemaat Tionghoa di Patekoan (Batavia). Gouw Ko adalah seorang pedagang Kristen asal Tiongkok. Ia tiba di Batavia pada tahun 1874 dan menjadi anggota jemaat Patekoan. Sebagai seorang pedagang yang berhasil, ia tidak terikat oleh waktu. Karena itu, ia banyak memberikan waktu (dan pikiran serta tenaganya) untuk pekerjaan jemaat Patekoan yang sering ditinggal oleh Gan Kwee untuk melakukan perjalanan pekabaran Injilnya di banyak kota di Jawa.
Demi perkembangan jemaat Patekoan yang semula belum memiliki gedung sendiri untuk kebaktiannya itu, Gouw Ko menghibahkan sebidang tanah yang di atasnya terdapat empat buah rumah dan terletak di Jl. Patekoan 1, Batavia yang saat ini menjadi GKI Perniagaan. Kesukaan Gouw Ko dalam mengabarkan Injil ternyata memberikan pengaruh positif bagi jemaatnya, yaitu bahwa kemudian jemaatnya mempunyai kesukaan pula untuk memberitakan Injil. Hal itu nampak pada nama yang dipilih jemaat Patekoan untuk menyatakan dirinya, yakni Evangelische Chineesche Gementee tot Uitbreiding van Gods Koninkrijk.
Pada tahun 1932, berdirilah Anti Opium Vereeniging dan Wijk Verpleging sebagai respons atas banyaknya pemadat yang tinggal di daerah Senen. Kedua badan tersebut bergerak dalam upaya melayani konseling bagi para pemadat tersebut. Hal ini mendorong 3 pendeta Belanda dari Gereja Hervormd untuk terlibat dalam konseling pastoral tersebut. Lambat laun, muncullah orang Tionghoa yang menjadi Kristen di daerah Senen. Alhasil, pada 13 Mei 1937, berdirilah Jemaat Senen, cikal bakal dari GKI Gunung Sahari.
Pada tanggal 10 Mei 1953, muncul perbedaan pendapat antara Majelis Jemaat dengan beberapa anggota tentang persoalan intern organisasi gereja. Walau MJ Patekoan telah mengundang Sinode (THKTKH Khoe Hwee Djawa Barat), perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik, sehingga akhirnya Jemaat Patekoan terbagi dua: sebagian tetap sebagai Jemaat Patekoan, dan sebagian lainnya pindah ke Jl. Krekot 28 (cikal bakal GKI Samanhudi). Jemaat Patekoan sempat menyatakan keluar dari THKTKH Khoe Hwee Djawa Barat, dan 7 tahun kemudian (10 Mei 1960) setelah melewati perjuangan yang tidak ringan, Jemaat Patekoan (GKI Perniagaan) menyatakan bergabung kembali dalam THKTKH Khoe Hwee Djawa Barat, yang pada waktu itu sudah berubah nama menjadi Geredja Kristen Indonesia Djawa Barat.
Di Bandung, kemunculan GKI perdana tidak bisa dilepaskan dari kiprah Thung Goan Hok, sebagai orang Tionghoa pertama yang dibaptis pada 9 Desember 1888. Sebelumnya, pada tahun 1870, Ds. A. Geerdink (NZV), yang telah bertugas di Cianjur sejak tahun 1864, pindah ke Bandung dan melaksanakan PI di sana. Setelah bekerja selama 7 tahun, di Bandung baru terdapat 25 anggota jemaat Kristen di Bandung tanpa orang Tionghoa sama sekali. Ini dapat terjadi karena penginjilan yang mereka lakukan hanya ditujukan kepada masyarakat Sunda dan belum ditujukan kepada orang-orang Tionghoa. Seperti biasa, dalam mengabarkan Injil, NZV pun mendirikan sekolah dan rumah sakit.
Pada tahun 1920, setelah makin banyaknya anggota Jemaat Tionghoa di Gereja Pasundan, mulailah timbul keinginan untuk membentuk jemaat sendiri. Ini dilakukan bukan semata-mata karena permasalahan bahasa yang berbeda antara orang Tionghoa dan orang Pasundan. Melainkan karena masalah etnis yang menyangkut adat-istiadat. Pada bulan Maret 1924, dibentuklah Kerkeraad (Majelis Gereja) Tionghoa yang pertama terdiri dari Tan Djin Gie, Tan Kim Tjiang, Tan Goan Tjong, Hong To Bin, Hong Han Keng, Tan Tjok Lim, Lie Kok Man, Lim Djong Sing dan Ds. Lasschuit sebagai ketuanya.
Setelah terbentuknya Majelis Gereja ini, awal pemisahan dengan jemaat Pasundan mulai terlihat. Mereka mengadakan kebaktian tersendiri yang diadakan jam 10.30-11.30. Dengan bertambah banyaknya jemaat Tionghoa yang beribadah, disertai dapat menyulitkan antar jemaat dalam memakai gedung gereja terutama pada acara-acara yang membutuhkan persiapan, maka Ds. J. Iken mengusulkan agar jemaat Tionghoa pindah ke gedung bekas rumah sakit Immanuel di Jl. Kebonjati 40 (kini: Jl. Kebonjati 100, saat ini GKI Kebonjati). Usul ini disambut baik oleh Jemaat Tionghoa. Pemakaian gedung ibadah ini dilakukan pada tanggal 25 Desember 1924 pada hari raya Natal. Pemakaian gedung ini menandakan berpisahnya jemaat Tionghoa dengan jemaat Pasundan di Bandung.
Pada tanggal 14 Nopember 1934, Guru Jemaat Tan Goan Tjong ditahbiskan menjadi pendeta oleh NZV di Gereja Kristen Pasundan Kebonjati 108 d/h 46 untuk Jemaat Tionghoa di Bandung. Peristiwa ini amat penting karena untuk pertama kalinya seorang keturunan Tionghoa ditahbiskan menjadi pendeta untuk Gereja Tionghoa di Bandung. Sejak itu Pendeta Tan Goan Tjong menjadi pimpinan Jemaat Tionghoa dan dibantu Pendeta-Pendeta NZV (Ds. Woortman, Ds. V.d. Brug) sebagai penasihat.
Usaha PI yang dilakukan NZV, baik melalui kehadiran pendeta, sekolah serta balai pengobatan, membuahkan hasil. Orang Tionghoa yang pertama dibaptis adalah Oey Keng Tjiat. Setelah itu, makin banyaklah orang-orang Tionghoa yang memberi diri dibaptis. Itulah sebabnya Jemaat di Sukabumi sebagian terdiri dari orang-orang Tionghoa, selain orang-orang Sunda. Jadi, Jemaat Sukabumi merupakan jemaat campuran: orang-orang Sunda dan Tionghoa.
Sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah waktu itu, maka pada tahun 1936 diadakan pemisahan Gereja secara administratif. Pada tahun 1939, anggota jemaat Sukabumi dipisah demikian: orang-orang Tionghoa bergabung dengan Tiong Hwa Kie Thok Kauw Hwee (THKTKH) Khoe Hwee Djawa Barat, sementara orang-orang Sunda, Minahasa, Maluku, Timor, Jawa, Papua dll bergabung dengan GKP.
Seorang lulusan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta bernama Pouw Boen Giok ditunjuk menjadi Gembala Jemaat di THKTKH Djawa Barat Jemaat Sukabumi yang pertama pada 1939. Ia kemudian melayani Jemaat tersebut sampai 1946. dalam masa pelayanannya, dibentuk pula pelayanan Sekolah Minggu dan perkumpulan pemuda.
Dengan berkat dari Tuhan dan usaha keras Jemaat, maka Jemaat Sukabumi berhasil membeli sebidang tanah berikut bangunannya di Jl. Tarikolot no. 9 (kini: Jl. Zainal Zahse no. 15) dari Sdr. Tan Keng Siong pada tanggal 22 November 1973; letak GKI Zainal Zahse Sukabumi sekarang.
Upaya ke arah kesatuan dan kemandirian
Pada pertemuan antara wakil-wakil dari UCKHDB, pengurus GTS, jemaat-jemaat Tionghoa di Djawa Barat, serta WJZ dan Zendingscorporaties yang diprakarsai H.D. Woortman, salah seorang tenaga NZV (juga sering disebut WJZ) di Jawa Barat di Batavia pada 20 November 1937 disetujui hal-hal sebagai berikut: (1) pembentukan THKTKH-KHDB, yang akan diproklamasikan berdirinya setelah tata gerejanya tersusun; (2) pembentukan moderamen THKTKH-KHDB yang akan memimpin kehidupan dan pelayanan THKTKH-KHDB; (3) berakhirnya tugas pengurus GTS dalam mempersatukan jemaat-jemaat Tionghoa di Jawa Barat, karena tugasnya akan diambil alih oleh moderamen THKTKH-KHDB.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tanggal 20 November 1937, maka pada tanggal 12 November 1938 di Batavia, dibentuklah Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee – Khoe Hwee Djawa Barat (THKTKH-KHDB), sebuah Gereja yang jemaat-jemaatnya adalah jemaat-jemaat bekas asuhan NZV dan jemaat-jemaat bekas asuhan BFM.
Di kemudian hari, ketiga jemaat Tionghoa bekas asuhan BFM itu dan beberapa jemaat Tionghoa lain yang juga berlatar belakang Metodis bergabung dalam sebuah Gereja, yang menggunakan nama Chung Hua Chi Tuh Chiao Hui (CHCTCH). Dengan demikian, di Jawa Barat, terdapat dua Gereja Tionghoa: THKTKH-KHDB, yang kelak menjelma menjadi GKI Jawa Barat (GKI Jabar), dan CHCTCH, yang kelak menjadi Gereja Kristus (GK).
Hal yang menarik, THKTKH-KHDB tidak menganggap 12 November 1938 sebagai hari jadinya, melainkan 24 Maret 1940, yakni ketika Zendings Consulaat menyatakan THKTKH-KHDB sebagai Gereja yang berdiri sendiri pada tanggal tersebut. Atas dasar itu, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa THKTKH-KHDB merupakan Gereja yang berbadan hukum, yang dituangkan dalam Staatblad (lembaran negara) no. 1 dan 100 tahun 1940.
Perubahan Nama Dari THKTKH Menjadi GKI
Pada 17-20 September 1956, THKTKH Thay Hwee Djawa Tengah dalam suatu persidangannya di Purwokerto, telah mengambil keputusan untuk mengubah THKTKH Thay Hwee Djawa Tengah menjadi Geredja Kristen Indonesia Djawa Tengah. Selanjutnya, Badan Pekerdja Synode THKTKH Thay Hwee Djatim, menyampaikan surat tertanggal 20 April 1958, kepada Badan Pekerdja Synode THKTKH Thay Hwee Djabar yang berisi pemberitahuan bahwa mulai 1 Mei 1958, nama Badan Pekerdja Synode THKTKH Tay Hwee Djatim berubah menjadi Badan Pekerdja Synode Geredja-geredja Kristen Indonesia Djawa Timur, begitu pula nama gereja setempat.
Lalu, pada 2 Oktober 1958, lewat suatu persidangan di Cirebon, THKTKH Thay Hwee Djawa Barat menyusul menggunakan nama Geredja Kristen Indonesia Djawa Barat atau GKI Djabar.
Penyatuan GKI
Perlu dicatat bahwa pada 22 Februari 1934, telah berdiri THKTKH Khoe Hwee Djawa Timur – yang kelak ditingkatkan statusnya menjadi THKTKH Tay Hwee Djawa Timur, yang berganti nama menjadi GKI Djawa Timur. Lalu pada 8 Agustus 1945, di daerah Jawa Tengah, berdirilah THKTKH Khoe Hwee Djawa Tengah, yang kemudian menjadi GKI Djawa Tengah pada 1956.
Pada tanggal 25 Mei 1950, telah berdiri DGI yang memiliki tujuan untuk mendirikan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE). Sejalan dengan semangat menjadi Indonesia, upaya keesaan dari DGI, dan peran DGKTI yang merosot, maka didirikanlah Badan Permusjawaratan Persatuan Geredjani (BPPG) oleh GKI Djawa Barat, GKI Djawa Tengah, dan GKI Djawa Timur pada tahun 1954. Badan ini bertujuan untuk mempersatukan Gereja-gereja anggotanya itu dan membuat program kerja realistis, yakni: (1) mengusahakan tata kebaktian, buku nyanyian, dan buku pedoman iman bersama; (2) penyelidikan tentang sikap orang Kristen terhadap jenazah; (3) penyusunan sejarah THKTKH di Jawa.
Sebagai hasil kerja dari BPPG tersebut, maka pada 27 Maret 1962 didirikanlah Sinode Am GKI, yang memiliki tujuan untuk menyatukan ketiga sinode menjadi satu gereja dengan satu tata gereja.
Barulah pada tanggal 26 Agustus 1988, dalam suatu Persidangan Sinode Am GKI, Sinode GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah, dan GKI Jawa Timur mengikrarkan diri bersatu dalam wadah Sinode Am GKI. Saat itu, penamaan sedikit berubah, yakni: GKI (W) Jawa Barat, GKI (W) Jawa Tengah, dan GKI (W) Jawa Timur. Namun upaya penyatuan yang utuh belum dapat terjadi karena belum adanya satu tata gereja. Kesatuan organisasional, yang ditandai dengan hadirnya satu tata gereja, baru terjadi 15 tahun kemudian, tepatnya 26 Agustus 2003, dengan disahkannya Tata Gereja GKI (2003) dalam suatu Persidangan Majelis Sinode GKI tahun 2002. Pada saat itu, penyebutan nama turut berubah, menjadi: GKI SW Jawa Barat, GKI SW Jawa Tengah, GKI SW Jawa Timur yang menyatu dalam wadah Sinode GKI.