RITUS PENGENANGAN DI HARI MINGGU KRISTUS RAJA
Momentum akhir tahun sering kita gunakan untuk merangkum sekaligus merefleksikan perjalanan selama satu tahun. Begitu juga dengan gereja. Bedanya, kalender gereja dimulai pada Minggu Adven, bukan di tanggal 1 Januari. Maka momentum akhir tahun kalender gerejawi jatuh di hari Minggu terakhir sebelum masa Adven. Minggu inilah yang disebut sebagai Minggu Kristus Raja.
Menurut sumber yang saya temukan, Minggu Kristus Raja tergolong sebagai perayaan liturgis yang baru dalam sejarah kekristenan. Perayaan ini baru diperkenalkan tahun 1925 oleh Paus Pius XI yang kemudian dibarui oleh Paus Paulus VI pada tahun 1969. Alih-alih melihat perayaan Kristus Raja sebagai klimaks kalender gerejawi, perayaan ini lebih dihayati sebagai transisi dari tahun kalender gerejawi yang lama menuju tahun kalender gerejawi yang baru.
Transisi ini didasarkan pada refleksi perjalanan hidup selama satu tahun kalender gerejawi. Saat melihat kembali perjalanan hidup yang dilalui, gereja tiba pada satu kesimpulan bahwa Yesus Kristus memang berperan secara utuh dan berdaulat dalam kehidupan dunia ini. Ia menjadi penguasa atas kehidupan dan bahkan seluruh semesta. Refleksi ini menjadi bekal gereja memasuki tahun baru kalender gerejawi di masa Adven. Selain menyadarkan gereja bahwa yang dirayakan di hari Natal bukan sekadar kelahiran bayi kecil dan sederhana di Betlehem, refleksi di Minggu Kristus Raja juga menyadarkan bahwa penantian gereja akan kedatangan Kristus kembali adalah penantian akan hadirnya sosok Raja dan penguasa atas seluruh kehidupan.
Memang peran Raja atau penguasa yang ditampilkan oleh Yesus berbeda dengan karakter Raja atau penguasa yang ada di dunia ini. Bacaan Injil dalam leksionari tahun A (Matius 25:31-46), B (Yohanes 18:33-37), maupun C (Lukas 23:33-43) mengundang kita untuk merefleksikan nilai kerajaan ala Kristus. Kerajaan Kristus adalah kerajaan untuk semua orang dan segala makhluk— baik yang kaya maupun yang miskin, baik para penguasa maupun orang-orang yang ditindas, baik yang hidup maupun yang mati—dan dilandaskan pada nilai kasih, kebenaran, dan kekekalan. Inilah kemuliaan yang dinyatakan oleh Yesus Kristus sebagai Raja yang sejati.
Ritus Pengenangan
Dalam penghayatan tema pelayanan 2021-2023 GKI SW Jawa Barat “Menjadi Tubuh Kristus yang Memulihkan di Tengah Tatanan Baru”, BPMSW GKI SW Jawa Barat mengarahkan Komisi Liturgi dan Musik GKI SW Jabar (KLMSW) untuk merancang sebuah liturgi pasca-keduakaan yang bersifat pastoral. Arahan ini didasarkan pada situasi dan kondisi selama pandemi Covid-19, di mana banyak pelayanan kedukaan gereja, termasuk pada keluarga yang berduka, dilaksanakan dengan sangat terbatas dan bahkan ada beberapa pelayanan duka yang tidak dapat dilayankan secara liturgis oleh karena protokol dari pemerintah. Dalam diskusinya, KLMSW melihat bahwa liturgi pastoral pasca-kedukaan dapat dilakukan dalam dua model yaitu model personal bagi keluarga yang berduka dan juga model komunal yang diselenggarakan bersama dengan komunitas gereja (sebagaimana ibadah kedukaan sebelum pandemi bahwa ibadah kedukaan pun merupakan ibadah komunal sebuah jemaat).
Untuk model yang pertama (model personal), KLMSW telah merumuskan Liturgi Perayaan Kehidupan (Celebration of Live Service) yang nantinya akan disosialisasikan dan dijemaatkan. Sedangkan untuk model kedua (model komunal), KLMSW merancang liturgi pastoral pasca-kedukaan dengan menggunakan salah satu kekayaan tradisi gereja yakni Ritus Pengenangan. Ritus ini sebenarnya sudah akrab di GKI, misalnya dalam persidangan- persidangan ingkup Sinode Wilayah dan Sinode yang menyelenggarakan ritus In Memoriam dalam setiap pembukaan persidangan. Ritus ini digunakan untuk mengenang setiap pendeta, penatua, ataupun aktivis dalam lingkup sinodal yang meninggal selama satu periode persidangan. KLMSW melihat ritus ini baik untuk diadaptasi dalam lingkup jemaat untuk mengenang setiap anggota jemaat yang meninggal selama satu periode tertentu.
Setiap gereja tidak memiliki waktu yang seragam untuk menyelenggarakan ritus pengenangan. Namun yang terpenting, ritus pengenangan dilakukan secara rutin dalam satu periode waktu tertentu. Misalnya GKI selama ini memilih momentum pembukaan Persidangan Majelis Sinode untuk menyelenggarakan ritus In Memoriam. Oleh karena itu, setiap pembukaan persidangan, pasti ritus In Memoriam dilakukan (tidak hanya dalam persidangan-persidangan tahun tertentu saja).
Gereja-gereja di dunia juga memilih waktunya sendiri. Pada umumnya, ada dua alternatif waktu yang dipakai oleh gereja-gereja di dunia untuk melakukan Ritus Pengenangan. Alternatif pertama ada di hari Minggu tanggal/sesudah tanggal 1 November (hari raya para kudus/All Saints Day). Alternatif kedua ada di Minggu Kristus Raja untuk menyelenggarakan Ritus Pengenangan dengan penghayatan bahwa di Minggu Kristus Raja, gereja sedang merayakan kekuasaan Yesus Kristus bagi setiap orang yang hidup maupun yang telah mati.
Atas dasar dan latar belakang tersebut, tahun ini KLMSW memperkenalkan Ritus Pengenangan sebagai salah satu bentuk pelayanan pastoral pasca- kedukaan yang bersifat liturgis. Dalam pelaksanaannya, KLMSW memilih penyelenggaraan ritus ini di Minggu Kristus Raja. Selain karena Minggu Kristus Raja tidak memiliki ritus khas tertentu, makna perayaan Kristus Raja yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya justru mendukung penghayatan terhadap ritus pengenangan ini. Ritus pengenangan bukanlah momentum untuk mendoakan orang yang telah meninggal tapi menjadi ritus untuk mengenang bagaimana karya kasih Allah nyata dalam kehidupan orang-orang yang telah meninggal. Menyaksikan karya kasih Allah justru menjadi bentuk peneguhan, penguatan, dan bahkan penghiburan bagi keluarga-keluarga yang berduka.
Upaya KLMSW memperkenalkan ritus pengenangan ini juga tidak dapat dilepaskan dari semangat revitalisasi ibadah yang sudah digaungkan dalam beberapa tahun terakhir. Ritus pengenangan menjadi salah satu metode bagaimana gereja dapat merancang liturgi yang menjawab kebutuhan pastoral anggota jemaat sekaligus menghubungkan liturgi dengan kehidupan sehari- hari. Tentunya Majelis Jemaat masing-masing juga memiliki peran penting dalam memperkenalkan dan mempersiapkan pelaksanaan ritus ini, sesuai dengan rancangan revitalisasi ibadah yang sudah dibuat oleh masing-masing jemaat.
Sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya.
(2 Petrus 1:16)
Pdt. Hizkia Anugerah Gunawan
Keterangan: Tulisan ini dibuat dengan mengutip beberapa sumber dan juga mengadaptasi Pengantar Buku LIturgi Masa Raya Natal 2021 – GKI SW Jabar